Judul : Novel Ini Tentang Juna
Aliran : B. Indonesia
Karya : Dinda Anggreni Shaura Sari
Sinar surya menembus kaca jendela, kicauan
burung seakan nyanyian merdu di pagi yang sejuk, hembusan angina pagi dengan
lembut meniup wajah. Dentingan jam beker mengusik telinga, arah jarumjam terus
berputar menunjukkan pukul 06:15, memaksa bangun dan bersegera mengharumkan
diri. Sudah terlambat. Aku bergegas masuk ke mobil, dengan memeluk buku mata
pelajaran hari kamis, belum lagi terjebak macet di jalan. Begitu tiba di
sekolah aku langsung membuka pintu mobil dan bergegas ke ruang kelas. Setibanya
di sekolah, bel tanda memulai pelajaran di bunyikan, langkah berlari masih
belum berhenti, karena aku sangat tergesa-gesa, aku tidak sengaja menabrak
seseorang, aku tak sempat melihat wajahnya karena di sibukkan dengan buku-buku
yang terjatuh berserakan, ku ucapkan kata maaf padanya dan langsung ku tinggal
pergi menuju kelas.
**
Untung saja Pak Susilo, guru metematika ku
belum mendahului ku masuk, dengan nafas terengah-engah dan sedikit lega, aku
mengikuti pelajaran yang sedikit membuat aku bosan, setelah usai mengikuti pelajaran
yang cukup menguras otak ku yang pas-pasan, Mrs. V masuk bersama seseorang yang
sperti pernah menjadi bagian dari hidup ku, aku sedikit terheran, bukan dia,
dia berbeda dengan orang yang aku kenal dulu, cupu, berkaca mata namun manis di
pandang, aku sempat terhenyak, ini kah sahabat kecil ku yang dulu aku berpisah
dengannya di bawah pohon cherry? Juna, namanya sama, pertanyaan menumpuk di
kepala ku. Dia kembali, hanya satu pertanyaan yang harus terjawab, “apakah dia
masih mengingat ku?”. Aku tepis semua dengan emosi ku, yang saat itu di tinggal
pergi Juna yang ikut orang tuanya ke Paris, itu bukan Juna ku. Bel istirahat
berbunyi, aku dan teman-teman ke kantin favorit kami, dan tak sengaja, aku
lagi-lagi menabrak seseorang, siswa baru yang masuk ke kelas ku bersama Mrs. V
tadi, yang mirip seperti Juna, belum sempat aku mengucapkan kata maaf, dia
langsung berkata “nggak papa kok, soal yang tadi pagi juga, aku maklumin,
mungkin kamu lagi terburu-buru, kelihatan kok dari wajahnya”. Aku tersentak
kaget, menelan liur, mirip sekali dengan Juna, kalimatnya yang panjang lebar
hanya ku balas dengan senyuman, lalu ku tinggaklan pergi menuju kantin.
Nama ku Fachel Randicha LeDinyu. Ya..
sedikit aneh di dengar, Karena ayah ku berkebangsaan Prancis, ibu ku asli lokal
Indonesia, nama yang unik untuk seorang gadis mungil berkaca mata separti ku.
Aku akrab di panggil teman-temanku FaRaLe, dan aku salah seorang yang beruntung
sekolah di sekolah yang cukup terkenal di Tarakan, aku sudah kelas 3 SMA, cukup
dewasa untuk memilih mana yang baik, dan amna yang buruk. Setengah hari aku
lalui di sekolah, sepulang sekolah aku meminta izin dengan Mama untuk
jalan-jalan mencari sedikit inspirasi untuk novel baru ku, biasanya aku di
temani Pak Yus, sopir setia ku, tapi untuk kali ini aku ingin mancari sesuatu
yang berbeda, ketenangan bisa memberi tema novel ku yang tepat. Di tepi danau,
air yang tenang, di temani sebotol niu green tea dingin, aku mencari isnpirasi
ku, yang kini menjadi hobi ku, bahkan cita-cita ku. Tadi pagi adalah hal yang
cukup aneh untuk ku, orang yang delu meninggalkan ku, kini kembali dengan
tampilan yang baru, Juna. Dia lah yang menyemangatiku, memberiku tawa, dial ah
yang membuat aku bercita-cita manjadi penulis terkenal. Terbesit di benak ku,
apakah? Tema novel ku tentang Juna? Sesuatu yang nyata di tulis di atas kertas,
mungkin bisa jadi yang manis untuk selalu mengenang Juna.
Sang surya meninggalkan hari, berganti
langit dengan bulan dan taburan bintang, sedikit letih dan lelah menuangkan
cerita-cerita ku di atas kertas, berharap pulang ke rumah di sajikan mie ayam kesukaan
ku buatan mama. Sesampainya di rumah, di depan ada mobil yang parkir, aku
bertanya pada Pak Yus untuk memastikan, kata nya “tuan sudah pulang dari Paris,
non”, betapa girangnya aku, Papa pulang dari pekerjaan yang harus memisahkan
antara aku dan Papa, aku bergegas berlari ke kamar dan menaruh laptop ku, lalu
langsung ke ruang meja makan, dan ternyata Papa datang tidak sendiri, di temani
keluarga Tante Yonda, sahabat Papa di Paris, Tante Yonda punya anak laki-laki,
dia sahabat kecil ku, namanya Juna. Apakah ini Juna sahabat ku? Tapi dia siswa
baru di sekolah ku, dia yang aku tabrak tadi pagi, aku berbisik kecil dengan
Mama memastikan itu benar-benar Juna, dan ternyata memang Juna!! Mana kaca
matanya? Mana cupunya? Sekarang sangat berbeda, Juna hanya tertawa geli melihat
tingkah ku yang serba salah, aku menyalahkan Papa dan Juna, karena membuat aku
bingung di mabuk kepayang. Emosi ku bercampur aduk, marah, bingung, heran,
senang, semua menjadi satu, namun yang paling menumpuk adalah bahagia ku, hati
ku bagai pelangi, sungguh semakin berwarna, Juna kembali. Dia tidak bohong pada
ku.
Sementara Papa dan Mama bernostalgia dengan
Tante Yonda, aku dan Juna duduk di ayunan dekat kolam renang di samping rumah.
Tingkah ku masih terlihat malu-malu, dia sama sekali tidak berubah, hal-hal
yang di sukainya masih sama seperti dulu, hanya berbeda penampilannya saja,
lebih bergaya dan semakin terlihat manis. Dia masih mengingat nama ku, nama
yang selalu membuat aku tertawa, dia selalu memanggil ku Dinyu, taka da yang
berbeda dari kami berdua, aku dan Juna serasa anak kecil yang bersenda gurau
bahagia.
**
Esok harinya aku bangun sengat pagi, agar
tidak terlambat ke sekolah, dan bertemu Juna, berada di sampingnya setiap saat,
kali ini aku berangkat ke sekolah di jemput Juna, Pak Yus mengantar Papa dan
Mama ke kantor, ketika tiba di sekolah, aku dan Juna jadi bahan gulatan bibir,
tapi aku tidak peduli, Juna ku sudah kembali. Di kelas, teman-teman ku
terheran, aku di landa badai pertanyaan mereka, sementara Juna, sedang sibuk
bercanda gurau bersama teman-temannya, Adista teman sebangku ku bertanya untuk
memastikan, “FaRaLe, kamu pacaran yah sama Juna?”. Pertanyaan itu terdegar di
telinga Juna, dan datang menghampiri sekelompok gadis-gadis penggosip yang
sedari tadi embuat aku tak nyaman. Juna langsung menjawab pertanyaan konyol itu
dengan santai, “ dia memang pacar ku, sudah lama aku bersama dia, hanya jarak yang
memisahkan kami berdua”. Kalimat yang sangat romantis keluar dari mulut Juna,
sahabat kecilku itu benar-benar membuat aku dan teman-teman ku menganga kaget,
mereka melirik pada ku, ku tegug air liur ku, dan hanya ku balas dengan
senyuman bingung dan anggukan kepala, Juna tersenyum pada ku dan menjilatkan
mata manisnya ke arah ku, sungguh Juna genit.
Bel pun berbunyi, tanda pergantian jam
pelajaran, Mrs. V mendadak mengadakan free test tentang adjective clause, wajah
mereka di landa kebingungan dan was-was, sebagian mengawasi Mrs. V untuk mencontek.
Beberapa lama kemudian, aku dan Juna menacungkan tangan dan mengatakan “I have
finish ma’am”, sontak seluruh ruangan kaget, kami berdua menyelesaikannya
bersama-sama, aku dan Juna saling menatap heran, kami pun mengumpulkan free
test dari Mrs. V, pada saat waktu istirahat aku dan teman-teman ku seperti
biasa ke kantin favorit kami, ketika aku sedang asyik menyeruput sesendok kuah
mie ayam, pundak ku tiba-tiba di tepuk dari belakang oleh Juna, membuat aku
tersedak kuah mie ayam yang panas nan pedas, tapi Juna tidak peduli, kenakalan
Juna semakin menggebu-gebu, dia ingin aku semakin merasa mulut ku terbakar,
Juna membawa lari minuman ku, mengapa Juna seperti ini? Jahil, Juna mulai
berubah. Sepulang sekolah aku menunggu Pak Yus yang aku telfon sebelum pulang
sekolah tadi, aku membiarkan Juna pulang sendiri, menampakkan wajah marah
padanya, kenakalannya sungguh kelewatan, sesampainya di rumah, aku langsung
mengemas laptop ku dan pergi menulis di danau lagi, tanpa mengganti baju
seragam ku, dengan perasaan masih marah pada Juna, aku menenangkan pikiran ku,
aku berfikir luas di sana, satu objek yang mengganggu benak ku, Juna. Dia
sangat berbeda, cara dia menjahili ku sangat keterlaluan, dan mengumumkan bahwa
kami berdua sepasang kekasih, hal yang sangat konyol bagi ku, seperti bukan
sosok Juna yang aku kenal dulu. Fikiran ku semakin seperti nyata saat aku
medengar suara Juna yang lembut membisiki ku, aku di kejutkan dengan Juna yang
benar-benar ada di samping ku, aku masih marah padanya, dia mengerti emosi ku,
dia terus mengganggu ku, dia memperhatikan ku yang sedang memangku laptop, dia
mencuri pandangan ku, dia ingin melihat
apa yang aku tulis, aku sinis padanya, di sadar aku masih marah padanya. Aku sengaja
melakukan hal ini, agar di menyadari kesalahannya, dia terus memandang ku “serius
amat sih”, aku masih sibuk dengan novel ku, “ssttt, diem ah. Lagi konsen nih”,
di hanya duduk manis di samping ku, dengan rasa penasaran. Dia tidak tahu bahwa
yang aku tulis adalah dia, tentang dia, seluruh emosi-emosi ku tertuang di
sana, aku ingin novel ini menjadi sebuah kejutan spesial untuk Juna, di hari
ulang tahunnya novel ini ku hadiahkan untuk nya. Di bawah pohon yang sejuk
tertiup angin, aku dan Juna bersenda gurau, seperti kami bermain dulu. Aku tak
ingin menyinggung perasaan Juna tentang hal konyol nyang di lakukannya tadi pagi,
aku memaafkan tingkahnya tadi pagi, aku tak boleh egois, aku malu pada diri ku,
aku juga belajar mengerti Juna yang sekarang, belajar mengerti emosinya.
**
Suatu hari di sekolah, sosok yang
mengganggu ku tak hadir mengisi suasana di kelas, teman-teman menjahili ku,
melihat wajah ku galau tanpa Juna, apa Juna sakit? Tak ada konsentrasi ku bisa
fokus mengikuti pelajaran selama di sekolah, di kantin, mie ayam yang biasa aku
pesan, hanya segelas air putih saja, seperti taka da semangat tanpa Juna.
Kebetulan aku ke sekolah membawa mobil dan laptop ku, jadwal seperti biasa
sepulang sekolah ke danau, aku batalkan, karena aku sangat mengkhawatirkan
Juna, aku ke rumahnya dan menemukannya sudah sehat segar bugar bemain
playstation, Juna menyebalkan, seenaknya membuat aku khawatir, membolos, saat
aku berkomat-kamit menceramahinya, Juna tiba-tiba berhenti bermain PS, dia
memandangi ku yang sedang berkumandang di belakangnya, aku terdiam dia menatap
begitu tajam, jauh menembus imajinasi ku, jantung ku berdegup cepat saat Juna melangkah
mendekat ke arah ku, semakin dekat, sangat dekat, aku terdiam dia semakin
membuat aku gugup saat meraih tangan ku yang dingin, melihat tingkah Juna pada
ku, aku berfikir apa yang akan dia ucapkan? Apakah, “akau sayang kamu, Dinyu”,
aku semakin gemetar, wajah Juna mengerut heran, dan dia bilang “ayo, temani aku
main PS”, aku serasa di tertawakan orang-orang di seluruh dunia, aku teralu
percaya diri tentang Juna, di sisi lain aku juga mengingat bahwa Juna sahabat
ku, sahabat sejak kecil, mengapa fikiran ku konyol seperti ini, aku jadi malu
pada diri ku sendiri, tanpa mengucapkan kata apapun karena malu, aku menemani
Juna bermain PS, aku masih penasaran dengan bolos Juna, waktu yang tepat
menyinggungnya, “eh, mata empat, kamu kok bolos sih? Tadi ulangan matematika
tau”, Juna dengan wajah pucat dan gagap berputar otak mencari alasan, Juna
sempat terdiama lama, mencari alasan, kutanya sekali lagi dengan terkaget dia
menjawab, “aku terlambat bangun pagi”. Aku menghela nafas, aku pun membuat
kesepakatan dengan Juna yang terlalu sibuk dengan PSnya, sambil mengadu kedua
jari tangan kami si stick PS itu, aku membuat peraturan semacam tantangan untuk
kami berdua, di antara kami berdua yang tercepat bengun pukul 05:30 dia menang,
yang kalah di traktir makan di KFC, yang bangun pukul 05:30 langsung menelpon
pada saat itu juga, masih pada permainan playstation, aku dan Juna saling
memandang dan berjabat tangan sambil berkata “deal”.
**
Esok harinya aku dan Papa Mama mengadakan
pesta barbeque di pantai Amal, tak ketinggalan Tante Yonda dan keluarganya ikut
di undang, agar semakin ramai, kami mengajak Pak Yus dan Mbok Narsiah pembantu
di rumah Juna, weekend kami sangat menyenangkan, bermain gitar bersama, aku
sengaja mengadakan acara ini,karena tanggal 26 Agustus adalah hari ulang tahun
pernikahan Papa dan Mama, betapa terkejutnya Papa dan Mama saat ku berikan kado
yang mungkin cukup berharga bagi mereka, Tante Yonda dan Juna pun tak mau
ketinggalan di momen bersejarah ini, ketika hari mulai senja, matahari
tenggelam di ufuk barat, aku dan Pak Yus menyulut kembang api dan merecun untu
memeriahkan pesta barbeque kami, hari itu mungkin menjadi hari yang sangat sulit
untuk di lupakan.
**
Sejak Juna hadir kembali dalam hidupku, tak
ada tetesan ai mata mengalir di pipi ku, hidup ku sangat bahagia, aku pamerkan
pada dunia, bahwa akulah gadis mungil yang selamanya akan bahagia. Suatu hari
di sekolah aku di antar Pak Yus di sebrang jalan, karena Pak Yus sekalian
mengantar Papa dan Mama ke kantor, aku pun menyebrangi jalan raya yang cukup
ramai di lalu-lalangi oleh kendaraan mesin, dan ketika aku ingin melangkah
menyebrangi jalan, tiba-tiba di kagetkan dengan sambaran motor yang lajunya
sangat kencang, motor itu membawa ku terlempar hingga ke pinggir jalan, Juna
melihat aku tak berdaya dari dalam mobil, belum Jauh Pak yus membawa mobil,
Papa dan Mama keluar dari mobil dan melihat ku sudah berlumuran darah, Juna
dengan emosinya memukuli orang yang menabrak ku, mata ku samar-samar melihat
Mama di samping ku menangis, kaca mata yang selama ini menemani ku untuk
melihat, pecah. Aku tak bisa menahan rasa sakit di kaki ku, saat saku mendengar
sirine ambulance, suara itu semakin lama semakin samar dan menghilang. Aku tak
sdarakan diri lagi, dan saat aku terbangun, aku merasakan sakit yang luar
biasa, di bagian lutut ku terasa ngilu, kaku tak bisa di gerakkan, Mama yang
melihat ku sadar tiba-tiba menangis, mata Papa dan Juna berkaca-kaca, Tante
Yonda turut mrngkhawatirkan keadaan ku, namun yang lebih membuat aku pilu, saat aku merasa mati rasa
di kaki kanan ku, ku raba pelan-pelan dan bertanya ada apa semua ini, saat mama
membisikkan kata “kaki kanan mu di amputasi, nak”, hatiku hancur
berkeping-keping, aku menangis kesakitan, sakit kehilangan kaki kanan ku, sakit
kehilangan kebahagiaan ku, Juna tak mau lagi bermain dengan ku, teman-teman
akan mengucilkan ku, aku putus asa, mengapa Tuhan memeberi ku cobaan seperti
ini? Aku kehilangan diri ku yang sebenarnya, aku terjatuh dan tak bisa bangkit
lagi, aku tenggelam dalam angan ku yang kelam.
Saat aku terbangun membuka kedua mata ku,
aku melihat kejamnya dunia pada ku, Juna menenangkan ku, aku fikir dia tak mau
lagi menjadi sahabat ku, dialah orang pertama yang menghapus rasa putus asa ku,
di amembisikkan kata “aku akan selalu menemani mu Dinyu,kamu bisa saja
kehilangan kaki kanan mu, tapi kamu tak bisa kehilangan aku, aku akan selalu di
samping mu, Dinyu”, kalimat itu membuat aku semangat kembali, ternyata Juna
sangat peduli padaku, sahabat ku sejak kecil, sahabat yang sangat aku sayangi,
sambil terisak-isak aku menangis dan memeluk Juna, Juna sahabat ku.
**
Setelah dua minggu aku di rawat di rumah
sakit yang bagai penjara bagiku, pada esoknya aku di kejutkan dengan kedatangan
teman-teman sekelas ku, aku fikir mereka akan meninggalak ku, ternyata tidak,
mereka menyemangati ku, meceritakan hal-hal lucu di sekolah, tak seru rasanya
tanpa aku, ternyata mereka merindukan ku, aku merasa terharu, aku pun semakin
bersemangat untuk menjalani kekurangan yang ada pada ku. Sejak saat itu mereka
bergiliran menjenguk ku, agar aku tidak bosan di rumah sakit. Hingga dokter pun
mengatakan aku sudah bisa pulang, aku bahagia, aku ingin ke danau lagi, aku
sangat merindukan tempat itu, menuangkan isnpirasi ku lagi, aku tak peduli lagi
dengan kekeurangan yang ada pada ku, ada Juna dan kursi roda yang menemani
langkah ku.
**
Beberapa hari ke depan aku belum di
bolehkan oleh dokter untuk masuk ke sekolah, masih ada perawatan dokter yang
membuat aku merasa kesakitan, obat-obatan yang membuat aku ingin memuntahkannya
kembali. Hari ini ku hitung satu bulan ke depan, tepat di hari itu adalah hari
ulang tahun Juna, novel yang ku persiapkan untuknya sebagai hadiah spesial dari
ku, belum ku selesaikan. Aku baru mengingatnya, ku panggil Mbok Tun untuk
membantu ku mengambilkan mesin ketik yang isinya terdapat hadiah untuk Juna, ku
luangkan waktu libur ku untuk menyelesaikan novelnya. Esok aku sudah di
perbolehkan untuk masuk kembali ke sekolah oleh dokter, bertemu teman-teman ku,
di sekolah aku aku di sambut teman-teman dan wali kelas ku, sangat meriah, satu
hari di spesialkan hanya untuk merayakan kesembuhan ku, tapi, di benak ku,
seperti ada yang hilang, taka da Juna, kemana dia? Mengapa dia tidak ikut
menyambut ku? Juna di mana? Sepi rasanya pesta ini tanpa Juna, ku Tanya pada
Reza, teman sebangku Juna, katanya “dia sakit”, aku sangat mengkhawatirkannya,
mengapa setiap tiga hari dia selalu tak ada? Pertanyaan itu terus menumpuk.
**
Di hari minggu aku membujuk Papa dan Mama
untuk ke rumah Juna, aku ingin melihat keadaannya, hatiku masih galau, Juna
sakit, saat aku sudah di depan rumah Juna, tak ada orang, ku Tanya Mbok
Narsiah, katanya “mereka pergi ke Paris pagi-pagi sekali, den Juna sakit”. Aku
menagis, Juna jahat pada ku, mengapa dia tidak bilang mau pergi, mengapa dia
meninggalkan ku lagi. Aku benci Juna, seenaknya pergi tanpa pamit pada ku, aku
begitu mengkhawatirkan Juna.
**
Dua minggu sudah tanpa Juna, tak ada kabar
ataupun kiriman dari Juna. Aku terus menulis novel ku, tak lama lagi ulang
tahun Juna, dia belum juga pulang dari Paris, aku terus menunggu kedatangan
Juna. Hingga suatu hari ada telfon khusus untuk ku, kata Mbok, “dari den Juna,
non” aku langsung merebut telfon itu dari si Mbok, aku memarahi Juna,
menceramahinya namun aku juga merindukannya sambil mata ku berkaca-kaca, dia
masih mengingat ku, walaupun aku hanya bisa mendengar suaranya, terdengar
kurang sehat, semakin lama aku berbincang dengan Juna, semakin larut waktu.
Papa mengingatkan ku untuk istirahat, aku tak inign mengakhiri perbincangan
ini, ingin lebih lama, aku menangis dan mengatakan “cepat pulang Juna, aku
merindukan mu”, dan aku pun mengakhiri telfon dari Juna, esok harinya sepulang
sekolah, aku seperti biasa ke danau, di temani Pak Yus, karena aku sudah tidak
bisa mengendarai mobil lagi, sekaligus menjaga ku jika terjadi sesuatu pada ku,
aku duduk di bawah pohon yang rindang dan sejuk, tangan ku terus mengetik
tentang sahabat yang sangat aku sayangi. Hari hampir senja, saat aku ingin pulang,
aku terheran, mengapa bukan mobil ku, mobil Juna yang terparkir di sana, di
belakang suara yang sangat aku kenal mengagetkan ku, Juna, “aku kembali”.
Senyum ku kembali terukir di wajah, aku memeluknya dengan erat, tanda aku
sangat merindukannya, ku habiskan waktu bersama Juna melepas rasa rindu setelah
lama tak bersua.
**
Hingga suatu hari yang sangat tak ingin aku
ingat, aku sedang duduk santai di kamar ku sambil mengetik novel ku yang hampir
menempati klimaks akhir, Papa dan Mama masuk ke kamar ku tanpa mengetuk pintu,
mereka ingin membicarakan sesuatu hal yang harus aku ketahui sejak dulu, aku
santai menanggapi itu, saat Papa bilang “Juna sakit”, aku masih santai, karena
aku tahu itu, dengan ringan aku menjawab, “Papa, Fachel sudah tahu Juna sakit,
Juna ke Paris karena berobat, dan Juna sudah sembuh sekarang Fachel nunggu
kepulangan Juna”. Mama langsung mengklarifikasi pernyataan ku, Mama mnejelaskan
semuanya tentang penyakit Juna, aku baru tahu Juna yang setiap tiga hari sekali
tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, dia benar-benar sakit, dia melakukan
kemoterapi, dia sakit sejak kecil, Juna meninggalkan ku dulu karena dia pergi
untuk kesembuhannya, aku menangis, mengapa Juna menutupi ini semua dari ku?
Tangis ku semakin menjadi saat aku tahu usia juna sudah tinggal satu minggu
lagi, tepat di ulang tahunnya 21 Oktober, aku langsung memeluk Mama, Juna akan
pergi, bukan untuk sementara, tapi selamanya. Mengapa semuanya bohong pada ku?
Aku belum siap melepas Juna, dia baru saja datang, dan pergi lagi, aku tak bisa
menyalahkan kenyataan yang ada, aku harus kuat menghadapinya.
**
Sejak aku tahu Juna bukan hanya sekedar
sakit, aku terus meluangkan waktu ku unthk menemani hari-hari terakhir Juna,
Juna terheran dengan tingkah ku yang begitu memperhatikannya, aku tidak peduli.
Dua hari sebelum ulang tahun Juna, novel yang ku Buat sudah selesai, tercover
rapi berwarna biru, berbungkus kado yang cantik. Kepalanya sudah mulai tidak di
tumbuhi rambut lagi, aku menangis di dalam hati, di tinggal pergi oleh sahabat
yang sangat aku sayangi sejak kecil.
Tepat di hari ulang tahunnya, aku
menggenggem tangannya yang dingin, dia tersenyum pada ku, “aku minta maaf,
karena selama ini bohong sama kamu, aku lakuin semua itu karena aku tak ingin
kamu terlalu mengkhawatirkan ku, Dinyu. Aku ingin kamu selalu bahagia”, aku
memeluknya memaafkan ungkapan tulus dari hatinya, Tante Yonda tak kuasa menahan
tangis melihat anak laki-lakinya terbaring lemah menunggu ajal. Pak Yus membawa
kue tart bergambar foto kami saat pesta pantai waktu itu, dengan lilin angka 18
di ujungnya tersulut api, siap untuk di tiup Juna,aku memberikan kado untuknya,
ku bukakan kado itu, yang isinya novel buatan ku yang berjudul “Jangan Pergi
Lagi”, sempat tertetes air mata di pipinya, baru pertama kali aku melihat
sahabat ku menangis. Aku, Papa, Mama, Tante Yonda, dan Om Billy, menyanyikan
lagu selamat ulang tahun untuk Juna, suasana ruangan itu bercampur aduk, dan saat
Juna memohon harapan dan meniup lilin, saat itu juga Juna pergi, Juna pergi
untuk selamanya, kebahagiaan yang semula terukir di ruangan itu, berubah
menjadi tangis kepedihan dan kehilangan seorang Juna. Akhirnya Juna pergi,
benar-benar pergi, Juna sempat berpesan pada ku, “jangan berhenti menulis,
tulislah apa yang menakjubkan yang ada di dunia ini”, aku selalu mengingat
ungkapan yang keluar dari mulut Juna. Novel ini tentang Juna. Dunia akan
membaca novel tentang sahabat yang sangat aku sayangi. Juna, yang memberi ku
inspirasi dan kebahagiaan di setiap hari ku. Jose Amour Lithua Juna.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar